Dalam setiap sesi coaching yang saya jalani, keluhan tentang burnout selalu muncul sebagai masalah utama. Menariknya, banyak yang langsung mengaitkannya dengan jam kerja yang panjang atau lembur yang tiada henti. Padahal, seringkali akar masalah burnout tidak sesederhana itu. Kita cenderung menyalahkan durasi kerja sebagai biang keladi, namun kenyataannya, pemicu kelelahan mental dan emosional jauh lebih dalam dari sekadar hitungan jam. Mari kita bongkar mengapa penyebab burnout bukan cuma soal lembur terus-terusan.
Lembur memang melelahkan secara fisik. Mudah bagi kita untuk menunjuk angka waktu sebagai musuh utama ketika merasa terkuras. Lingkungan kerja kita, terutama di Indonesia, seringkali mengagungkan kerja keras dan “totalitas” yang diukur dari seberapa banyak waktu yang Anda habiskan di kantor. Konsekuensinya, stigma bahwa jam kerja berlebihan adalah satu-satunya penyebab burnout menjadi sangat kuat. Namun, fokus berlebihan pada jam kerja ini justru mengaburkan faktor-faktor penting lain yang jauh lebih destruktif bagi kesehatan mental kita.
Persepsi bahwa “saya lembur, jadi saya burnout” adalah cara mudah untuk menjelaskan perasaan lelah. Namun, ini adalah penyederhanaan yang berbahaya. Jika kita hanya melihat permukaan, kita tidak akan pernah menemukan solusi nyata untuk mengatasi burnout yang kita alami. Padahal, ada banyak aspek lain yang secara signifikan memengaruhi kesejahteraan kita di tempat kerja, terlepas dari seberapa banyak waktu yang kita habiskan di sana.
Dari berbagai cerita yang saya dengar, dan mungkin juga Anda rasakan, ada banyak pemicu burnout yang tidak ada hubungannya dengan durasi kerja. Ini adalah faktor-faktor emosional dan psikologis yang secara perlahan mengikis energi dan semangat Anda, bahkan saat jam kerja tergolong normal. Inilah beberapa penyebab burnout yang paling sering muncul:
Mari kita luruskan pandangan ini. Kerja lembur dengan apresiasi yang jelas dan di lingkungan yang suportif? Itu masih oke dan seringkali bisa dinikmati. Anda mungkin merasa lelah fisik, tapi kepuasan dan rasa dihargai akan mengimbanginya. Namun, kerja normal dengan jam kantor biasa tapi di lingkungan toxic yang menguras energi? Itulah resep utama menuju burnout. Faktor-faktor di atas secara kumulatif menciptakan lingkungan di mana Anda merasa tidak aman, tidak berdaya, dan tidak berharga.
Singkatnya, burnout itu tentang bagaimana Anda diperlakukan, bukan cuma berapa lama Anda bekerja. Rasakan perbedaannya ketika Anda bekerja keras, namun setiap keringat dihargai, ide Anda didengarkan, dan Anda merasa menjadi bagian dari sesuatu yang positif. Kontrasnya, bekerja di tempat yang penuh ketegangan, di mana usaha Anda diabaikan, dan Anda selalu merasa diawasi tanpa kepercayaan, akan membuat Anda cepat merasa kosong dan kelelahan mental.
Pernyataan ini seringkali menjadi kebenaran pahit di banyak perusahaan. Karyawan yang resign tidak selalu karena mereka tidak mampu menghadapi tuntutan pekerjaan atau karena mereka “malas” lembur. Mereka pergi karena merasa sudah terlalu lelah secara emosional dan mental. Mereka merasa tidak dihargai, tidak didengarkan, dan tidak memiliki ruang untuk berkembang. Perlakuan yang buruk, lingkungan yang negatif, dan ketidakadilan adalah penyebab burnout yang paling kuat dan pemicu utama seseorang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya.
Kelelahan akibat tidak dihargai jauh lebih dalam dan membekas daripada kelelahan fisik. Itu menggerogoti harga diri, motivasi, dan kebahagiaan Anda secara keseluruhan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa mengatasi burnout tidak hanya dengan mengurangi jam kerja, tetapi juga dengan menciptakan lingkungan kerja yang suportif, menghargai setiap individu, dan berempati terhadap beban yang mereka pikul.
Jadi, kita sudah memahami bahwa penyebab burnout jauh lebih kompleks dari sekadar berapa lama Anda berada di kantor. Ini adalah gabungan dari perasaan tidak dihargai, lingkungan kerja yang buruk, kurangnya empati, hingga micromanage kronis yang mengikis semangat Anda. Mengidentifikasi akar masalah yang sebenarnya adalah langkah pertama untuk bangkit dan menemukan solusi.
Setelah membaca daftar pemicu di atas, menurut Anda, mana yang paling bikin Anda merasa burnout dari semua poin yang disebutkan? Yuk, mulai lebih peduli pada kondisi mental kita dan cari tahu cara terbaik untuk mengatasinya!
No products in the cart
Return to shop